Senin, 04 Januari 2016

Menepak Jejak Dikota Daeng


Oleh: Bung Dayat Mbojo
Selingan angan-angan mendengar nama kota yang orang awam kenal dengan  sebutan kota ujung pandang, cerita-cerita indah melintas ditelinga ku dengan segala romantika dan keindahannya, mendengar cerita itu orang awam seperti ku ini ingin sekali menikmati dan mengenyam pendidikan disana. Kota ini pula dalam pelajaran sejarah sering menyebutkan nama seorang raja yang gagah berani, yang dikenal dengan ayam jantan dari timur yaitu Sultan Hasanuddin, keinginanku semakin menggebu untuk segera menginjakkan kaki dikota yang banyak cerita indah dan banyak pula menyimpan makna sejarah yang bisa kita petik pelajaran hidup.
Kota ini pula sering disoroti media massa dengan kejadian bentrokan antar mahasiwa dan pihak keamanan (kepolisian), karna itu  saya banyak pertanyakan kepada guru sekolah SMA ku yang juga alumni dikota daeng ini, kenapa pak, Makassar suka sekali melakukan demontrasi dan ujunng-ujung pasti bentrokan. Jawaban yang saya terima pun beragam ada yang bilang bahwa mereka itu adalah mahasiswa yang kurang kerjaan dan ada pula mengeluarkan jawaban yang membuat sanubariku ini  menggebu ketertarikan jawabanya, kenapa mereka sering melakukan aksi, karna persoalan bangsa ini bobrok sangat membutuhkan kaula muda yang progresif, yang berjuang atas nama rakyat untuk membebaskan dari eksploitasi dengan regulasi-regulasi  yang merugikan rakyat. Semua cerita ini sehingga anak desa seperti aku ingin sekali melihat kota dan ingin mengabdikan diri berjuang bersama mereka agar tatanan negeri ini kembali kepada marwahnya, sesui dengan konsep bangsa kita yaitu pancasila.
Waktu terus berputar dan tak terasa telah sampai pada ujung masa pendidikan sekolah menengah atas. Para guru disekolah ku sering menanyakan kepada kami tentang masalah lanjutan studi. Bentuk pertanyaanya setelah ini kalian mau lanjut dimana? Teman-teman seangkatan ku ada yang mau jadi Tni, Polisi, Guru dan seorang politik, kemudian pertanyaan yang samapun dilontarkan kepada saya, kamu mau lanjut dimana dengan nada lesum kujawab mau jadi seorang pengusaha dalam dunia peternakan, maklum didesa ku banyak para peternak sapi skala usaha rakyat, makanya dengan itu peluang usaha yang bagus saya lirik disamping juga orang tua ku menyetujuinya juga.
Dengan modal awal cerita indahnya kota daeng dari kakak dan tetangga juga guruku, saya memberanikan diri untuk melanjutkan studi dikota asing itu. Lambat raut waktu terus berputar sehingga waktu keberangkatanpun datang, saya dengan teman sebaya ku juga para penumpang kapal Tilong Kabila pun, menunggu dipelabuhan sandarnya besi besar yang mengapung ini. Kesedihanpun menyelimuti para penumpang juga para pengantar sama halnya dengan aku anak yang baru berumur 19 tahun, kesedihan semakin memuncak kala kapal besar ini mengeluarkan suara dari kabin anak buah kapal” untuk para pengantar diharapkan turun karna kapal akan segera berangkat” puncak kesediahan pun semakin memuncak karena tangisan yang menyelimutiku, sesekali orang yang melahirkanku (ibu) melambaikan tangan dengan bahasa muka yang mengisaratkan kulepaskan engkau anakku untuk meraih masa depan mu.
Diatas kapal ini banyak cerita indah dan sedih kulewati dengan teman baruku, mulai cerita masalah kenapa mau kuliah di Makassar sampai pada cerita tentang betapa jijiknya saya memakan nasi kapal yang tidak pernah kutemui didapur sederhana keluarga ku, saya pikir mungkin ini adalah makanan untuk penyesuian selera dari makanan desa kekota. Waktu terus berputar, sebelum sampai dimakassar kapal ini sejenak sandar dipelabuhan laboan bajo, untuk mengangkut para penumpang juga. Dengan berlanjutnya kami brlabuh kembali menuju kota daeng mala mini kuhabiskan dengan rasa lelah dan mual tak sesendok nasipun masuk di mulutku. Dan akhirnya setelah waktu yang panjang kurang lebih 24 jam perjalanan akhirnya sampai juga dikota asing yang banyak menyimpan romantika dan problematika ini.
Sama halnya dengan teman sebaya ku yang baru ke Makassar, wajah kami terlihat sangat kebingungan karna semua orang disini menggunakan bahasa indonesia campuran bukan bahasa indonesia yang baku, jujur waktu itu saya bahasa indonesia baku saja masih banyak yang saya belum pahami apalagi bahasa campuran seperti ini. Untung saya waktu itu ada kakakku yang menjemput dipelabuhan akhirnya kecemasanku hilang, seiring melihat wajah seorang kakak yang sudah lama berpisah. Bahasa yang pertama kali keluar dari mulut kakak, bagaimana perjalannya dek? Perjalanannya sangat melelahkan dan juga jujur selama dikapal belum ada nasi yang masuk kalau mau makan bawaanya mual, sontak kakaku ketawa kemudian dia mengeluarkan bahasa” limbo ade ” dalam terma bima bahasa limbo ade dalah bahasa penuh kesederhanaan dalam segala keadaan hidup semuanya harus disyukuri.

Kamipun meninggalkan pelabuhan kemudian menaiki becak, tetapi saya sangat bingung kenapa becak yang ada dikota ini sangat beda sekali dengan becak yang ada dikota ku, mereka menggunakan tenaga mesin sebagai alat penggeraknya, hmmmmmm unik sedikit asing begitulah perasaanku saat itu. Kumemandang kota ini selama perjalan menuju kos-kosan penuh dengan kekaguman, melihat kota yang penuh dengan gedung-gedung yang tinggi yang dihiasi oleh taman yang berbunga mekar. Setapak demi setapak jalanan besar dan lebar ini kulalui dengan rasa sumpek dengan polusi udara yang sangat pengat, karna banyak sekali kendaraan roda 4 dan roda 2 yang menelusur sepanjang jalan, belum lagi kalau lampu merah ada pasti akan ada antrian kendaraan yang sangat panjang. Kendaraan yang kunaiki bersama kakaku terus melaju sontak rasa belas kasihku kenapa dikota sebagus ini banyak orang yang mengemis, memulung, mengamen juga anak-anak dikota ini banyak memakai tattoo dan anting, mungkin ini yang namanya kota yang dulu waktu dikampung hampir setiap malam mengganggu tidurku.
Cerita perjalanan ku tidak sampai pada cerita tetang megahnya kota dan banyaknya kaum miskin kota, yang mengais rezeki dikota yang penuh dengan cerita romantika ini. Luar biasa kota ini, baru dalam perjalanan saja sudah membuat hati ku decah kagum dengan keindahannya sekaligus menitihkan belas kasih dikala melihat mereka mengais rezeki hanya untuk bertahan hidup ditengah banyaknya sebagian orang duduk asyik diruangan ber ac dengan fasilitas penunjang yang lengkap. Jujur dikampung belum pernah saya temui orang-orang yang meminta-meminta seperti ini apalagi mereka bilang “ nak kami belum makan sudah 2 hari “ mendengarnya saja saya sudah lapar apalagi merasakan seperti apa yangt sedang mereka alami. Ternyata kemegahan gedung-gedung ini tidak menjamin bahwa semua sejahtera hidupnya ini semua hanyalah kamuflase sampul saja dibalik ini banyak cerita menyedihkan.
Setelah beberapa hari berada dikota ini saya merasakan kesedihan dan tak jarang juga meneteskan air mata, karna baru kali ini merasakan berpisah dengan orang tua  yang dibatasi oleh bentangan pulau yang sangat jauh. Sesekali untuk menghilangkan rasa sedih ini kakaku menelpon orang tua dikampung, komunikasi lewat telpon banyak keluh kesah saya ceritikan mulai dari perjalanan dikapal, menunggu jemputan dipelabuhan, keindahan dean keunikan kota juga kuceritakan tetang kerasnya hidup kota melihat banyak orang tua dan anaknya menggantungkan diri dari menjual suara, mainan, makanan, memungut sampah sampai menawarkan jasa. Mendengar ceritaku ibu dan ayah memberikan petuah, hidup yang penuh dengan makna dan filosofi hidup masyarakat dikampung ku (mbojo) “ aina nefa kawara pu maja labo dahu mori di rasa dou” tetuah ini jika kita memaknai dalam terma bahasa indonesia bahwa hidup dirantauan harus mengedepankan malu ketika melakukan hal-hal yang merugikan orang lain dan takut jikalau hidup dirantauan tidak melakukan hal yang positif seperti saling membantu dikala orang sedang membutuhkan. Konsep hidup ini selalu ku ingat dan suatu keharusan untuk tetap melakukan perelesasian diri sebagai bentuk manusia yang memiliki sifat kesosialan.
Menjelang sore hari, saya dipanggil oleh kakaku untuk mengikuti sebuah agenda yang diadakan oleh lembaga tingkat organda yang menhimpun semua mahasiswa sal kecamatan ku yang disebut dengan FORMAL MAKASSAR (Forum Mahasiswa Lambu). Dikota ini ternyata banyak sekali orang-orang satu suku denganku, berkumpul dan melakukan interaksi dengan bahasa yang sulit aku pahami, semuanya asing terdengar ditelingaku jujur saja, dipelajaranku waktu masa sekolah saya belum pernah mendengar apa yang mereka sedang perbincangkan apalagi dengan menggunakan nada tinggi kupikir mungkin beginilah kerjaan seorang mahasiswa selain kuliah. Kami yang baru datang disuruh untuk duduk terpisah dengan para seniorku kemudian kami dipanggil satu-satu untuk melakukan proses ta’aruf ( ta’aruf dalam bahasa arab waktu pelajaran sekolah ku dulu adalah perkenalan atau mengenalkan diri pada orang lain), dalam ta’aruf itu terlihat sangat berbeda dengan yang sering kami lakukan dulu, para senioritas melontarkan beberapa pertanyaan sekaligus alasannya, kami kebingungan katanya tadi disuruh mengenalkan diri, kok kenapa ada banyak pertanyaan yang dilontarkan, maka dengan nada polos menjawab pertanyaan dengan kapasitas pengetahuan yang akami miliki terserah benar salah  dari pada lama berdiri lebih baik jawab,maklum kalau anak baru bawaanya malu.
Setelah kegiatan perkenalan selesai, saya dipanggil oleh salah satu senior yang paling tua katanya di lembaga, dia bilang kalian yang baru datang harus tinggal bersama disekret, untuk proses saling mengenal lebih jauh lagi dengan teman baru mu juga pembangunan hubungan emosional dengan semua senioritas. Cerita baru kumulai di pondok sederhana ini, banyak keheranan dan lagi-lagi kekaguman hadir didalam diriku, disemua dinding banyak foto orang-orang asing yang terpajang tak beraturan diantaranya ( bung karno, tan malaka, sho hok gie, che Guevara, karl marx, lenin, cokrominoto, wiji thukul, cak nur, gusmuh dan masih banyak foto-foto tokoh asing lainya juga tidak lupa pula di pondok sederhana ini banyak pula buku yang disusun bak seperti perpustakaan bahkan buku disi lebih banyak dari pada buku diperpustakaan ku waktu sekolah dulu. Aku heran harus mulai dari mana untuk membuka lembaran buku ini, kata seniorku kalian kalau baca buku harus lantang suaranya, agar terbiasa nantinya berbicara menggunakan bahasa indonesia yang baik.
Buku pertaman yang aku pegang dulu itu dengan judul “Jadilah Mahasiswa Progresif” karangan Eko Prasetio. Disinilah cikal bakal kenapa saya sampai hari ini tetap komitmen dalam garis perjuangan, dalam muatan buku ini bisa saya simpulkan secara menyeluruh bahwa mahasiswa yang di bahasakan oleh eko prasetio:
Kini kamu jadi MAHASISWA. Tinggal di kampus yang lebih luas dengan teman yang jauh lebih banyak. Berada di alam pikiran yang menantang dengan petualangan yang jauh lebih komplit. Tak ada baju seragam, tak ada pelajaran PPkN dan yang lebih penting lagi: tak ada ujian nasional. Inilah masa dimana kamu diajak untuk mengolah mimpi dengan semangat untuk meraih prestasi. Tidak hanya sejumput nilai tapi juga pengalaman berorganisasi. Nilai mungkin perlu untuk diraih tapi itu tak membuat kamu memegang kunci masa depan. Masih ada bekal lain yang kamu butuhkan: pengalaman dalam organisasi diantaranya. Kampus bukan tempat dimana lembaga Osis dan Pramuka beroperasi. Kampus juga memiliki Badan Eksekutif Mahasiwa, Pers Mahasiswa, Pecinta Alam dll. Singkatnya kampus punya pekarangan yang dihuni oleh para petualang yang punya mimpi besar mengenai masa depan. Mereka adalah orang yang menganggap hidup adalah rencana menanam mimpi. Hidup bukan pertarungan apalagi lomba.
“ Cara yang serupa itu yang membentuk sosok seperti Bung Karno. Proklamator kita yang dulu kuliah dengan memenuhi dua peran: mahasiswa sekaligus aktivis. Sebagai mahasiswa diikutinya kuliah dengan kepatuhan tapi sebagai aktivis dirinya mempertanyakan keadaan. Gejolak mudanya tak bisa menerima penindasan yang dilakukan dengan semena-mena. Tak ingin rakyatnya berkabut dalam kebodohan maka dicetuskan oleh Bung Karno kursus kewarganegaraan. Cita-cita kemerdekaan bermula dari sana. Seorang mahasiswa bersama teman-temanya membangun kesadaran rakyat untuk hidup sebagai bangsa merdeka. Di samping bung Karno ada bung Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Ki Hadjar dll. Singkatnya negeri ini berdiri dengan semangat baja para mahasiswa yang tak mau hidup dengan seadanya. Pada masa itu para mahasiswa membacakan syair Rene de Clerq: Hanya ada satu negeri yang bisa menjadi Tanah Airku, yaitu negeri yang berkembang karena perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku.
“ Kita sudah lama tak mendengar syair itu lagi. Patriotisme itu luntur dan berantakan. Pendidikan tak melatih kecintaan dan kepedulian pada sesama. Pendidikan malah menciptakan hak istimewa bagi mereka yang mampu membayar semuanya. Tak hanya itu pendidikan juga menciptakan penjahat berdasi dengan kebebasan melakukan korupsi. Kita pedih, sakit dan kecewa dengan itu semua. Pedih karena begitu gampang para pejabat itu menyamun harta rakyat tanpa pernah merasa bersalah. Kita semua sakit karena kejahatan tampaknya tak pernah bisa dihentikan dengan prosedur yang ada. Kemudian kita kecewa dan malu karena negara ini terus duduk dalam posisi dunia yang padat sindiran: surga untuk para pencuri. Kini kalian semua hidup seperti pada masa lampau: dijajah oleh para penguasa asing dengan menghabisi semua sumber kekayaan alam.
“ Sejenak kita selidiki: siapa yang menjarah kekayaan emas di tanah Papua? Siapa yang menikmati gas alam di tanah Bintuni? Siapa yang menjarah kayu, tambang dan batu bara di Kalimantan? Kita seperti kumpulan rakyat pandir yang terus diberitahu bahwa bunyi undang-undang soal tanah dan kekayaan alam dikuasai negara itu betul-betul terjadi. Padahal kita mengerti kalau pasal itu sudah lama tak ditegakkan. Tak hanya itu: kita semua tergantung pada impor apa saja; garam, beras, gula, bawang hingga daging. Yang kita punya adalah kumpulan penduduk yang disihir oleh sebuah jargon namanya kemajuan dan globalisasi. Maka dipuaskan rakyat oleh tontonan yang menghibur serta menyakitkan: kesebelasan sepak bola dunia datang dengan tugas khusus menghajar habis-habisan tim nasional. Sialnya kita gembira menyaksikan ini semua. Kita seperti bangsa naif yang duduk menonton kemajuan bangsa lain.
Buku jadilah mahasiswa progresif ini membuat saya keringat dingin dikala tidak sadarnya diri ini bahwa, selama ini bangsa yang memiliki sumber daya alam yang melimpah ternyata tidak dikelola oleh bangsa ini, pantas selama perjalan ku dulu waktu turun dari kapal masih banyaknya kesenjangan sosial yang ada. Ternyata bangsa kita sedang berada dalam lingkaran kapitalisme internasional, yang mengeksploitasi sumber daya alam dinegri ini dengan bebas juga operasionalnya telah dilegalkan dalam peraturan-peraturan ynag sudah jelas merugikan bangsa kita.
Terlepas dari cerita yang menggoreskan pemaknaan yang mendalam yang membuat hati ini  menggebu, ingin segera bergabung bersama kawan-kawan dalam garis perjuangan, yang dulu sering saya nonton di tv dengan segala kontroversi pandangan awamnya, yang menggap baik dan tidaknya apa yang mereka lakukan. Alhamdulillah tibalah saatnya yang kutunggu selama ini, yaitu pengumuman kelulusan dalam universitas  negeri uin alauddin makassar yang saya masuki dengan sebutan lain juga yaitu dikampus perdaban katanya, jujur saja sampai sekarang subtansialnya peradaban belum saya temukan dikampus ini. Rasa ketakutanpun sirnalah sudah karna jujur saja saya tidak mnenyangka karna bisa masuk dikampus negeri yang besar seperti ini karna kapasitas pengetahuanku tidaklah sebanding dengan lembaran soal-soal yang di keluakan pada saat ujian waktu itu, maklum saja disekolah ku dulu jujur masi banyak kekurangan dalam bentuk pengadaan buku, kualitas guru dan alat-alat penunjang pembelajaran maklumlah kami kan anak kampung dengan fasilitas sekolah yang minim. Tapi rasa kesyukuran ku kepada tuhan yang mempunyai kemahaan yang tidak ada bandingan dengan hasil penciptaan dan tak lupa pula saya berterima kasih juga kepada orang tua ku yang setia mendoakan dalam setiap solatnya untuk kesuksesan ku juga para senioritas yang tetap setia memberikan motivasi untuk perjuangan kami dikota daen ini.
Indentitas baru sebagai mahasiswa, telahku sandang antara bahagia dan tantangan baru sebagai seorang agent perubahan dalam tatanan sosial. karna sekarang aku bukan lagi anak sekolahan yang setiap hari disekolah membusungkan dada kalau lagi berjalan, bersama teman sebayaku waktu sekolah dulu, yang merencanakan kegiatan-kegiatan yang tidak bernilai pendidikan seperti ngumpul diperempatan terus balapan liar. meskipun awal aku datang kesini untuk menuntut ilmu dan meraih gelar sarjana seperti apa yang telah diamanatkan oleh kedua orang tua ku. Disini saya banyak menemukan sesuatu yang baru, membongkar paradigma kolot ku dulu tentang semua dinamika sosial bangsa ku, yang dipenuhi oleh kamuflase lakon-lakon penguasa dengan segala tingkah sucinya.
Selama berada dikampus peradaban ini, banyak sekali problem-problem mulai dari tingkatan mahasiswa dengan dosen sampai pada dosen dengan para pihak birokrasi rektorat. Semua persoalan ini terus kami presort dengan analisis ilmiah mengenai sebab dan akibat semua ketimpangan yang ada. Melawan adalah suatu jalan yang kami ambil sebagai jalan hidup dikampus yang penuh dengan persoalan ini, banyak yang pro dan kontra datang dari sesama mahasiswa dan dosen itu semua kami jadikan sebagai bumbu dalam melakukan gerakan. Tak terasa saya telah berada dipertengahan semester dan sebentar lagi cepat atau lambat kami akan meninggalkan kampus ini, pertanyaanpun datang dalam diri ku yang harus kujawab dengan sendiri pula ditengah banyaknya kawan-kawan yang asyik memainkan jemarinya diatas alt canggih tampa menghiraukan lagi persoalan sosial yamg terjadi. Resah rasa melihat kaula muda asyik membuat dunianya sendiri dalam alam sadar dunia maya seakan realitas hidup mereka ciptakan dengan jemari juga sedikit khayalan, berdasarkan instrument yang tidak sehat untuk dimakanai dalam realitas sebenarnya.
Ini bukanlah akhir dari perjalananku di kampus peradaban, tetapi untaian cerita dengan segala romantika yang telah kulewati akan terus kuperjuangkan atas nama kebaikan. Ingat kawan tetap menjadi mahasiswa yang progresif seperti apa yang di inginkan oleh bung eko prasetio sebagai landasan untuk tetap menjadi mahasiswa yang melawan seperti dalam puisi wiji thukul. Mari berpegang tangan dimana pun anda berada kita ciptakan sejarah perjuangan ditengah himpitan budaya kapiatalime yang mencekam. Lanjutan cerita ini akan saya uraikan kembali dimana nantinya aka nada inspirasi baru yang bisa saya bagikan untuk kalian.

Panjang Umur Perlawanan Dan Salam Penguatan Gerakan.

1 komentar: