Oleh:
Dayat Mbojo
Cerita
indah ku ukir dibelantara pegunungan Doro
Leme dengan keramahan suasana alam liarnnya, mengingatkan kita pada masa
kecil bercanda riang dengan senyuman polos menikmati segala isi alamnya, biasanya
dulu kita lewati masa kecil ini dengan mengambil kayu bakar makan loka, garoso, sambi dan loa sensasi alam inilah yang senangtiasa selalu menghantui diri
ini untuk kembali menginjakkan kaki dibelantara gunung penuh pesona dengan
segala kemisterianya, banyak para tetuah rasa (tetuah kampung) menganggap
bahwasanya digunung doro leme disitulah
kami dan orang-orang tua dulu bertahan hidup dari segala ancaman pihak penjajah
Kolonialisme Belanda dan Para Nipong Jepang, cerita-cerita rakyat itu sering
kami dengar dengan segala kesungguhan hati bahwa perjuangan mereka dalam
bertahan hidup dan meraih kemerdekaan sangatlah pahit, decak kagum dan
apresiasi yang sangat besar kami persembahkan untuk para tetuah dana mbojoku semoga cita-cita besar mu
melihat anak keturunan mu menjadi generasi yang hidup diatas tanah
kemerdekaanya sendiri tampa ada lagi eksploitasi kemanusiaan lagi.
Cerita
ku pula berlanjut dihamparan so laloja,
so pamali, so laju dan so tolo bou, dalam bahasa Bima, so adalah suatu kawasan persawahan yang
memiliki identitas yang berbeda di masing-masing perbatasannya, sehingga jika
ada orang pendatang yang mencari perbatasan persawahan ini tidaklah susah
sesusah mencari keadilan dinegri ini yang tak kunjung didapatkan oleh rakyat
miskin, dihamparan persawahan inilah kami dan orang tua menghabiskan pancaran
sinar fajar matahari dengan segala kelembutanya seakan-akan memberikan
pengharapan besar bagi kami semoga dewi fortuna menyertai benih-benih ini untuk
kelak dapat kami panen dengan kesyukuran diatas tanah manggini ini, pandangan indra ku pun melayang dari barat ketimur
juga selatan keutara mengisaratkan bahwa keindahan dan kelimpahan hasil alam
ini adalah manifestasi dari tuhanku ternyata kebesarannya dia tunjukan lewat
penciptaanya.
Tidak
terasa waktu berlalu begitu cepat seperti putaran kincir angin diladang garam
menyisahkan kenangan yang begitu indah sehingga diri ini tidak mampu move on dengan desiran angin pedesaanku,
sering kuceritakan desaku pada kawan-kawan sebayaku dirantauan bahwa Tanah Bima
(dana mbojo) masih kental dengan
tradisi kebudayaan dalam kehidupannya sehari-harinya diantara: rimpu, lamba angi, bantu angi dan cua gahi
kalembo ade, ini adalah sebagian dari sebuah tradisi yang masih dilakukan
oleh warga Bima meskipun sekarang sudah banyak pula kaula muda yang malu bahkan
sudah lupa dengan identitas tanah kelahiranyan, makanya dengan melalui tulisan
ini pula aku mengajak kawan-kawan muda ( mone
ma siwe na) agar senantiasa dimanapun kalian berada untuk tetap membiasakan
diri dengan segala bentuk kebudayaan dana
ra rasa ndaita menjadi suatu identitas diri kalian, juga mempublikasikan
adat istiadat tanah Bima didaerah dimanapun kalian berada tunjukan pada mereka,
bahwa tanah bima memiliki identitas budaya yang patut untuk disebar luaskan
karna mengandung nilai Agamais dan Seni yang tidak bertentangan dengan asas
Pancasila Negara kita.
Ingat
kawan muda ( ma mone ra ma siwe na ) bahwa tanah bima adalah tanah para tetuah
yang memiliki identitas kedaerahan yang sangat syarat akan nilai etika dan
estetika maka hematku sebagai pemuda ( Sampela
Dana Mbojo) agar tetap mengedepankan budaya yang kita percayai selama ini
sebagai falsafah hidup dalam kehidupan kita sehari- hari, saya juga ingat apa
yang dibahasakan oleh budayawan sujiwo tedjo:
budaya adalah ciri kepribadian diri manusia yang harus terus dilestarikan
walaupun jaman menuntut kita untuk mengikuti perkembangan yang sudah modern,
karna nilai budaya merupakan suatu marwah dan esensi dasar kedirian manusia. Jadi
tidaklah heran kenapa didaerah bagian jawa sana sampai sekarang dalam sector
parawisata kebudayaanya sangat dilirik oleh wisatawan local maupun wisatawan
asing meminatinya disebabkan penanaman nilai kebudayaan pada generasinya
sangatlah urjensial, secara tidak langsung pula mereka memiliki potensi
pertumbuhan nilai ekonomi yang bagus untuk kesejahteraan masyarakat sekitar
juga tradisi mereka tidak akan lekang oleh waktu karna itu atadi penanamang
meregenerasi.
Kupikir
kita pun juga memiliki potensi yang sama seperti mereka dengan tetuah Tanah
Mbojo : maja labo dahu, ngaha aina ngoho
dan gahi rawi pahu. Ini pun tetuah yang saya pikir adalah sebuah spirit
yang tidak akan pernah mati yang akan terus mendorong kita pada semangat untuk
melestarikan segala bentuk maupun semua dimensi kebudayaan kita, dengan
semangat inipula mulai sekarang pemerintah dan masyarakat tanah Bima harus memiliki
tanggung jawab bersama untuk terus saling bahu membahu menebarkan benih-benih
kebudayaan ini pada generasi muda, agar nantinya anak cucu kita dapat pula
menikmati kebudayaan ini sehingga nilai kebudayaan leluhurnya mereka
implentasikan dalam kehidupanya.
Tanah
dan tetuah mbojo (Bima) adalah harga diri kita selaku anak yang dilahirkan
ditanah yang penuh dengan falsafah hidup yang agamais yang syarat akan nilai
etika dan estetika sehingga ini suatu keharusan yang menuntut kita para genersi
muda ( Sampela Mbojo) untuk tetap
menjujung tinggi tanah kelahiran kita dengan berbagai keragaman budaya yang
terkandung didalamnya juga tanggung jawab kita kepada roh-roh tetuah kita yang
mewariskan budaya ini dengan penuh harapan bahwa kita tetap satu dalam bingkai
kebersamaan tampa adanya suatu perpecahan diantara kita yang memiliki darah dan
tetuah yang sama (ndai sasama mbojo ta).
Salam Hangat Mada Sampela Dana Mbojo:
Bung
Dayat H.Ridwan Ompu Bojo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar