Oleh: Bung Dayat Mbojo
Selingan
angan-angan mendengar nama kota yang orang awam kenal dengan sebutan kota ujung pandang, cerita-cerita
indah melintas ditelinga ku dengan segala romantika dan keindahannya, mendengar
cerita itu orang awam seperti ku ini ingin sekali menikmati dan mengenyam
pendidikan disana. Kota ini pula dalam pelajaran sejarah sering menyebutkan
nama seorang raja yang gagah berani, yang dikenal dengan ayam jantan dari timur
yaitu Sultan Hasanuddin, keinginanku semakin menggebu untuk segera menginjakkan
kaki dikota yang banyak cerita indah dan banyak pula menyimpan makna sejarah yang
bisa kita petik pelajaran hidup.
Kota
ini pula sering disoroti media massa dengan kejadian bentrokan antar mahasiwa
dan pihak keamanan (kepolisian), karna itu
saya banyak pertanyakan kepada guru sekolah SMA ku yang juga alumni
dikota daeng ini, kenapa pak, Makassar suka sekali melakukan demontrasi dan
ujunng-ujung pasti bentrokan. Jawaban yang saya terima pun beragam ada yang
bilang bahwa mereka itu adalah mahasiswa yang kurang kerjaan dan ada pula
mengeluarkan jawaban yang membuat sanubariku ini menggebu ketertarikan jawabanya, kenapa
mereka sering melakukan aksi, karna persoalan bangsa ini bobrok sangat
membutuhkan kaula muda yang progresif, yang berjuang atas nama rakyat untuk
membebaskan dari eksploitasi dengan regulasi-regulasi yang merugikan rakyat. Semua cerita ini
sehingga anak desa seperti aku ingin sekali melihat kota dan ingin mengabdikan
diri berjuang bersama mereka agar tatanan negeri ini kembali kepada marwahnya,
sesui dengan konsep bangsa kita yaitu pancasila.
Waktu
terus berputar dan tak terasa telah sampai pada ujung masa pendidikan sekolah
menengah atas. Para guru disekolah ku sering menanyakan kepada kami tentang
masalah lanjutan studi. Bentuk pertanyaanya setelah ini kalian mau lanjut
dimana? Teman-teman seangkatan ku ada yang mau jadi Tni, Polisi, Guru dan
seorang politik, kemudian pertanyaan yang samapun dilontarkan kepada saya, kamu
mau lanjut dimana dengan nada lesum kujawab mau jadi seorang pengusaha dalam
dunia peternakan, maklum didesa ku banyak para peternak sapi skala usaha
rakyat, makanya dengan itu peluang usaha yang bagus saya lirik disamping juga
orang tua ku menyetujuinya juga.
Dengan
modal awal cerita indahnya kota daeng dari kakak dan tetangga juga guruku, saya
memberanikan diri untuk melanjutkan studi dikota asing itu. Lambat raut waktu
terus berputar sehingga waktu keberangkatanpun datang, saya dengan teman sebaya
ku juga para penumpang kapal Tilong Kabila pun, menunggu dipelabuhan sandarnya
besi besar yang mengapung ini. Kesedihanpun menyelimuti para penumpang juga
para pengantar sama halnya dengan aku anak yang baru berumur 19 tahun,
kesedihan semakin memuncak kala kapal besar ini mengeluarkan suara dari kabin
anak buah kapal” untuk para pengantar diharapkan turun karna kapal akan segera
berangkat” puncak kesediahan pun semakin memuncak karena tangisan yang
menyelimutiku, sesekali orang yang melahirkanku (ibu) melambaikan tangan dengan
bahasa muka yang mengisaratkan kulepaskan engkau anakku untuk meraih masa depan
mu.
Diatas
kapal ini banyak cerita indah dan sedih kulewati dengan teman baruku, mulai cerita
masalah kenapa mau kuliah di Makassar sampai pada cerita tentang betapa
jijiknya saya memakan nasi kapal yang tidak pernah kutemui didapur sederhana
keluarga ku, saya pikir mungkin ini adalah makanan untuk penyesuian selera dari
makanan desa kekota. Waktu terus berputar, sebelum sampai dimakassar kapal ini
sejenak sandar dipelabuhan laboan bajo, untuk mengangkut para penumpang juga.
Dengan berlanjutnya kami brlabuh kembali menuju kota daeng mala mini kuhabiskan
dengan rasa lelah dan mual tak sesendok nasipun masuk di mulutku. Dan akhirnya
setelah waktu yang panjang kurang lebih 24 jam perjalanan akhirnya sampai juga
dikota asing yang banyak menyimpan romantika dan problematika ini.
Sama
halnya dengan teman sebaya ku yang baru ke Makassar, wajah kami terlihat sangat
kebingungan karna semua orang disini menggunakan bahasa indonesia campuran
bukan bahasa indonesia yang baku, jujur waktu itu saya bahasa indonesia baku
saja masih banyak yang saya belum pahami apalagi bahasa campuran seperti ini.
Untung saya waktu itu ada kakakku yang menjemput dipelabuhan akhirnya
kecemasanku hilang, seiring melihat wajah seorang kakak yang sudah lama
berpisah. Bahasa yang pertama kali keluar dari mulut kakak, bagaimana
perjalannya dek? Perjalanannya sangat melelahkan dan juga jujur selama dikapal
belum ada nasi yang masuk kalau mau makan bawaanya mual, sontak kakaku ketawa
kemudian dia mengeluarkan bahasa” limbo ade ” dalam terma bima bahasa limbo ade
dalah bahasa penuh kesederhanaan dalam segala keadaan hidup semuanya harus
disyukuri.
Kamipun
meninggalkan pelabuhan kemudian menaiki becak, tetapi saya sangat bingung
kenapa becak yang ada dikota ini sangat beda sekali dengan becak yang ada
dikota ku, mereka menggunakan tenaga mesin sebagai alat penggeraknya, hmmmmmm
unik sedikit asing begitulah perasaanku saat itu. Kumemandang kota ini selama
perjalan menuju kos-kosan penuh dengan kekaguman, melihat kota yang penuh
dengan gedung-gedung yang tinggi yang dihiasi oleh taman yang berbunga mekar.
Setapak demi setapak jalanan besar dan lebar ini kulalui dengan rasa sumpek
dengan polusi udara yang sangat pengat, karna banyak sekali kendaraan roda 4
dan roda 2 yang menelusur sepanjang jalan, belum lagi kalau lampu merah ada
pasti akan ada antrian kendaraan yang sangat panjang. Kendaraan yang kunaiki
bersama kakaku terus melaju sontak rasa belas kasihku kenapa dikota sebagus ini
banyak orang yang mengemis, memulung, mengamen juga anak-anak dikota ini banyak
memakai tattoo dan anting, mungkin ini yang namanya kota yang dulu waktu
dikampung hampir setiap malam mengganggu tidurku.
Cerita
perjalanan ku tidak sampai pada cerita tetang megahnya kota dan banyaknya kaum
miskin kota, yang mengais rezeki dikota yang penuh dengan cerita romantika ini.
Luar biasa kota ini, baru dalam perjalanan saja sudah membuat hati ku decah
kagum dengan keindahannya sekaligus menitihkan belas kasih dikala melihat
mereka mengais rezeki hanya untuk bertahan hidup ditengah banyaknya sebagian
orang duduk asyik diruangan ber ac dengan fasilitas penunjang yang lengkap.
Jujur dikampung belum pernah saya temui orang-orang yang meminta-meminta
seperti ini apalagi mereka bilang “ nak kami belum makan sudah 2 hari “
mendengarnya saja saya sudah lapar apalagi merasakan seperti apa yangt sedang
mereka alami. Ternyata kemegahan gedung-gedung ini tidak menjamin bahwa semua
sejahtera hidupnya ini semua hanyalah kamuflase sampul saja dibalik ini banyak
cerita menyedihkan.
Setelah
beberapa hari berada dikota ini saya merasakan kesedihan dan tak jarang juga
meneteskan air mata, karna baru kali ini merasakan berpisah dengan orang
tua yang dibatasi oleh bentangan pulau
yang sangat jauh. Sesekali untuk menghilangkan rasa sedih ini kakaku menelpon
orang tua dikampung, komunikasi lewat telpon banyak keluh kesah saya ceritikan
mulai dari perjalanan dikapal, menunggu jemputan dipelabuhan, keindahan dean
keunikan kota juga kuceritakan tetang kerasnya hidup kota melihat banyak orang
tua dan anaknya menggantungkan diri dari menjual suara, mainan, makanan,
memungut sampah sampai menawarkan jasa. Mendengar ceritaku ibu dan ayah
memberikan petuah, hidup yang penuh dengan makna dan filosofi hidup masyarakat
dikampung ku (mbojo) “ aina nefa kawara pu maja labo dahu mori di rasa dou”
tetuah ini jika kita memaknai dalam terma bahasa indonesia bahwa hidup
dirantauan harus mengedepankan malu ketika melakukan hal-hal yang merugikan
orang lain dan takut jikalau hidup dirantauan tidak melakukan hal yang positif
seperti saling membantu dikala orang sedang membutuhkan. Konsep hidup ini
selalu ku ingat dan suatu keharusan untuk tetap melakukan perelesasian diri
sebagai bentuk manusia yang memiliki sifat kesosialan.
Menjelang
sore hari, saya dipanggil oleh kakaku untuk mengikuti sebuah agenda yang
diadakan oleh lembaga tingkat organda yang menhimpun semua mahasiswa sal
kecamatan ku yang disebut dengan FORMAL MAKASSAR (Forum Mahasiswa Lambu). Dikota
ini ternyata banyak sekali orang-orang satu suku denganku, berkumpul dan
melakukan interaksi dengan bahasa yang sulit aku pahami, semuanya asing
terdengar ditelingaku jujur saja, dipelajaranku waktu masa sekolah saya belum
pernah mendengar apa yang mereka sedang perbincangkan apalagi dengan
menggunakan nada tinggi kupikir mungkin beginilah kerjaan seorang mahasiswa
selain kuliah. Kami yang baru datang disuruh untuk duduk terpisah dengan para
seniorku kemudian kami dipanggil satu-satu untuk melakukan proses ta’aruf (
ta’aruf dalam bahasa arab waktu pelajaran sekolah ku dulu adalah perkenalan
atau mengenalkan diri pada orang lain), dalam ta’aruf itu terlihat sangat
berbeda dengan yang sering kami lakukan dulu, para senioritas melontarkan
beberapa pertanyaan sekaligus alasannya, kami kebingungan katanya tadi disuruh
mengenalkan diri, kok kenapa ada banyak pertanyaan yang dilontarkan, maka
dengan nada polos menjawab pertanyaan dengan kapasitas pengetahuan yang akami
miliki terserah benar salah dari pada
lama berdiri lebih baik jawab,maklum kalau anak baru bawaanya malu.
Setelah
kegiatan perkenalan selesai, saya dipanggil oleh salah satu senior yang paling
tua katanya di lembaga, dia bilang kalian yang baru datang harus tinggal
bersama disekret, untuk proses saling mengenal lebih jauh lagi dengan teman
baru mu juga pembangunan hubungan emosional dengan semua senioritas. Cerita
baru kumulai di pondok sederhana ini, banyak keheranan dan lagi-lagi kekaguman
hadir didalam diriku, disemua dinding banyak foto orang-orang asing yang
terpajang tak beraturan diantaranya ( bung karno, tan malaka, sho hok gie, che
Guevara, karl marx, lenin, cokrominoto, wiji thukul, cak nur, gusmuh dan masih
banyak foto-foto tokoh asing lainya juga tidak lupa pula di pondok sederhana
ini banyak pula buku yang disusun bak seperti perpustakaan bahkan buku disi
lebih banyak dari pada buku diperpustakaan ku waktu sekolah dulu. Aku heran
harus mulai dari mana untuk membuka lembaran buku ini, kata seniorku kalian
kalau baca buku harus lantang suaranya, agar terbiasa nantinya berbicara
menggunakan bahasa indonesia yang baik.
Buku
pertaman yang aku pegang dulu itu dengan judul “Jadilah Mahasiswa Progresif” karangan Eko Prasetio. Disinilah cikal
bakal kenapa saya sampai hari ini tetap komitmen dalam garis perjuangan, dalam
muatan buku ini bisa saya simpulkan secara menyeluruh bahwa mahasiswa yang di
bahasakan oleh eko prasetio:
“
Kini kamu jadi MAHASISWA. Tinggal di
kampus yang lebih luas dengan teman yang jauh lebih banyak. Berada di alam
pikiran yang menantang dengan petualangan yang jauh lebih komplit. Tak ada baju
seragam, tak ada pelajaran PPkN dan yang lebih penting lagi: tak ada ujian
nasional. Inilah masa dimana kamu diajak untuk mengolah mimpi dengan semangat
untuk meraih prestasi. Tidak hanya sejumput nilai tapi juga pengalaman
berorganisasi. Nilai mungkin perlu untuk diraih tapi itu tak membuat kamu
memegang kunci masa depan. Masih ada bekal lain yang kamu butuhkan: pengalaman
dalam organisasi diantaranya. Kampus bukan tempat dimana lembaga Osis dan
Pramuka beroperasi. Kampus juga memiliki Badan Eksekutif Mahasiwa, Pers Mahasiswa,
Pecinta Alam dll. Singkatnya kampus punya pekarangan yang dihuni oleh para
petualang yang punya mimpi besar mengenai masa depan. Mereka adalah orang yang
menganggap hidup adalah rencana menanam mimpi. Hidup bukan pertarungan apalagi
lomba.
“ Cara yang serupa itu yang
membentuk sosok seperti Bung Karno. Proklamator kita yang dulu kuliah dengan
memenuhi dua peran: mahasiswa sekaligus aktivis. Sebagai mahasiswa diikutinya
kuliah dengan kepatuhan tapi sebagai aktivis dirinya mempertanyakan keadaan. Gejolak
mudanya tak bisa menerima penindasan yang dilakukan dengan semena-mena. Tak
ingin rakyatnya berkabut dalam kebodohan maka dicetuskan oleh Bung Karno kursus
kewarganegaraan. Cita-cita kemerdekaan bermula dari sana. Seorang mahasiswa
bersama teman-temanya membangun kesadaran rakyat untuk hidup sebagai bangsa
merdeka. Di samping bung Karno ada bung Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Ki Hadjar
dll. Singkatnya negeri ini berdiri dengan semangat baja para mahasiswa yang tak
mau hidup dengan seadanya. Pada masa itu para mahasiswa membacakan syair Rene
de Clerq: Hanya ada satu negeri yang bisa menjadi Tanah Airku, yaitu negeri
yang berkembang karena perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku.
“ Kita sudah lama tak mendengar
syair itu lagi. Patriotisme itu luntur dan berantakan. Pendidikan tak melatih
kecintaan dan kepedulian pada sesama. Pendidikan malah menciptakan hak istimewa
bagi mereka yang mampu membayar semuanya. Tak hanya itu pendidikan juga
menciptakan penjahat berdasi dengan kebebasan melakukan korupsi. Kita pedih,
sakit dan kecewa dengan itu semua. Pedih karena begitu gampang para pejabat itu
menyamun harta rakyat tanpa pernah merasa bersalah. Kita semua sakit karena
kejahatan tampaknya tak pernah bisa dihentikan dengan prosedur yang ada.
Kemudian kita kecewa dan malu karena negara ini terus duduk dalam posisi dunia
yang padat sindiran: surga untuk para pencuri. Kini kalian semua hidup seperti
pada masa lampau: dijajah oleh para penguasa asing dengan menghabisi semua
sumber kekayaan alam.
“ Sejenak kita selidiki: siapa yang
menjarah kekayaan emas di tanah Papua? Siapa yang menikmati gas alam di tanah
Bintuni? Siapa yang menjarah kayu, tambang dan batu bara di Kalimantan? Kita
seperti kumpulan rakyat pandir yang terus diberitahu bahwa bunyi undang-undang
soal tanah dan kekayaan alam dikuasai negara itu betul-betul terjadi. Padahal
kita mengerti kalau pasal itu sudah lama tak ditegakkan. Tak hanya itu: kita
semua tergantung pada impor apa saja; garam, beras, gula, bawang hingga daging.
Yang kita punya adalah kumpulan penduduk yang disihir oleh sebuah jargon
namanya kemajuan dan globalisasi. Maka dipuaskan rakyat oleh tontonan yang
menghibur serta menyakitkan: kesebelasan sepak bola dunia datang dengan tugas
khusus menghajar habis-habisan tim nasional. Sialnya kita gembira menyaksikan
ini semua. Kita seperti bangsa naif yang duduk menonton kemajuan bangsa lain.
Buku jadilah mahasiswa progresif ini membuat saya keringat
dingin dikala tidak sadarnya diri ini bahwa, selama ini bangsa yang memiliki
sumber daya alam yang melimpah ternyata tidak dikelola oleh bangsa ini, pantas
selama perjalan ku dulu waktu turun dari kapal masih banyaknya kesenjangan
sosial yang ada. Ternyata bangsa kita sedang berada dalam lingkaran kapitalisme
internasional, yang mengeksploitasi sumber daya alam dinegri ini dengan bebas
juga operasionalnya telah dilegalkan dalam peraturan-peraturan ynag sudah jelas
merugikan bangsa kita.
Terlepas dari cerita yang menggoreskan pemaknaan yang
mendalam yang membuat hati ini menggebu,
ingin segera bergabung bersama kawan-kawan dalam garis perjuangan, yang dulu
sering saya nonton di tv dengan segala kontroversi pandangan awamnya, yang
menggap baik dan tidaknya apa yang mereka lakukan. Alhamdulillah tibalah
saatnya yang kutunggu selama ini, yaitu pengumuman kelulusan dalam
universitas negeri uin alauddin makassar
yang saya masuki dengan sebutan lain juga yaitu dikampus perdaban katanya,
jujur saja sampai sekarang subtansialnya peradaban belum saya temukan dikampus
ini. Rasa ketakutanpun sirnalah sudah karna jujur saja saya tidak mnenyangka
karna bisa masuk dikampus negeri yang besar seperti ini karna kapasitas
pengetahuanku tidaklah sebanding dengan lembaran soal-soal yang di keluakan
pada saat ujian waktu itu, maklum saja disekolah ku dulu jujur masi banyak
kekurangan dalam bentuk pengadaan buku, kualitas guru dan alat-alat penunjang
pembelajaran maklumlah kami kan anak kampung dengan fasilitas sekolah yang
minim. Tapi rasa kesyukuran ku kepada tuhan yang mempunyai kemahaan yang tidak
ada bandingan dengan hasil penciptaan dan tak lupa pula saya berterima kasih
juga kepada orang tua ku yang setia mendoakan dalam setiap solatnya untuk
kesuksesan ku juga para senioritas yang tetap setia memberikan motivasi untuk
perjuangan kami dikota daen ini.
Indentitas baru sebagai mahasiswa, telahku sandang antara
bahagia dan tantangan baru sebagai seorang agent perubahan dalam tatanan
sosial. karna sekarang aku bukan lagi anak sekolahan yang setiap hari disekolah
membusungkan dada kalau lagi berjalan, bersama teman sebayaku waktu sekolah
dulu, yang merencanakan kegiatan-kegiatan yang tidak bernilai pendidikan
seperti ngumpul diperempatan terus balapan liar. meskipun awal aku datang
kesini untuk menuntut ilmu dan meraih gelar sarjana seperti apa yang telah
diamanatkan oleh kedua orang tua ku. Disini saya banyak menemukan sesuatu yang
baru, membongkar paradigma kolot ku dulu tentang semua dinamika sosial bangsa
ku, yang dipenuhi oleh kamuflase lakon-lakon penguasa dengan segala tingkah
sucinya.
Selama berada dikampus peradaban ini, banyak sekali
problem-problem mulai dari tingkatan mahasiswa dengan dosen sampai pada dosen
dengan para pihak birokrasi rektorat. Semua persoalan ini terus kami presort
dengan analisis ilmiah mengenai sebab dan akibat semua ketimpangan yang ada. Melawan
adalah suatu jalan yang kami ambil sebagai jalan hidup dikampus yang penuh
dengan persoalan ini, banyak yang pro dan kontra datang dari sesama mahasiswa
dan dosen itu semua kami jadikan sebagai bumbu dalam melakukan gerakan. Tak
terasa saya telah berada dipertengahan semester dan sebentar lagi cepat atau
lambat kami akan meninggalkan kampus ini, pertanyaanpun datang dalam diri ku
yang harus kujawab dengan sendiri pula ditengah banyaknya kawan-kawan yang
asyik memainkan jemarinya diatas alt canggih tampa menghiraukan lagi persoalan
sosial yamg terjadi. Resah rasa melihat kaula muda asyik membuat dunianya
sendiri dalam alam sadar dunia maya seakan realitas hidup mereka ciptakan
dengan jemari juga sedikit khayalan, berdasarkan instrument yang tidak sehat
untuk dimakanai dalam realitas sebenarnya.
Ini bukanlah akhir dari perjalananku di kampus peradaban,
tetapi untaian cerita dengan segala romantika yang telah kulewati akan terus
kuperjuangkan atas nama kebaikan. Ingat kawan tetap menjadi mahasiswa yang
progresif seperti apa yang di inginkan oleh bung eko prasetio sebagai landasan
untuk tetap menjadi mahasiswa yang melawan seperti dalam puisi wiji thukul.
Mari berpegang tangan dimana pun anda berada kita ciptakan sejarah perjuangan
ditengah himpitan budaya kapiatalime yang mencekam. Lanjutan cerita ini akan
saya uraikan kembali dimana nantinya aka nada inspirasi baru yang bisa saya
bagikan untuk kalian.
Panjang
Umur Perlawanan Dan Salam Penguatan Gerakan.