Jumat, 27 November 2015

ASAL - USUL KATA MBOJO



Dari beberapa referensi sejarah yang saya baca tentang asal-usul nama Mbojo, hampir semuanya sepakat menyebut bahwa kata Mbojo berasal dari istilah Buju, atau Kabuju, yang kemudian menjadi kata sifat Ma Mbuju. Kata Buju sendiri dalam bahasa Bima berarti “Gundukan Tanah”, para sejarawan menyimpulkan bahwa Mbojo adalah penegasan terhadap bentuk geografis Bima yang berbukit-bukit. Pendapat lainnya yang tidak kalah populer ialah, istilah Mbojo berasal dari bahasa bahasa Jawa, “Bojo”. Bojo artinya kekasih,suami atau istri. Kesimpulan ini memiliki dasar ilmiah yang cukup kuat, karena berdasarkan sejarahnya, Raja Sang Bima dahulu mempersunting istri dari kawasan ini, saat dia kembali ke Jawa, dia menyebut wilayah ini sebagai negeri mBojoku (tempat asal isteri saya). Kemudian dia memanggil istrinya dengan sebutan mBojo, yang terdengar ke telinga rakyatnya lalu disebutlah wilayah ini dengan sebutan raja mereka.

Kalau saya punya versi lain. Saya menduga, istilah Mbojo itu sudah ada sejak zaman baheula, nama ini muncul seiring dengan kelahiran bahasanya. Dan saya meyakini istilah Mbojo memiliki arti tersendiri yang tidak terkait dengan bentuk geografis maupun legenda-legenda sejarah. Kata Mbojo berasal dari dua huruf, yakni huruf MBO dan huruf JO. Aksara Bima tentu saja berbeda dengan aksara latin yang ada, sepintas kita melihat kata Mbojo adalah lima huruf, padahal boleh jadi dalam tata bahasa Bima kuno, itu hanyalah dua huruf. Ambillah contoh aksara Jawa kuno (kawi) yang dipopulerkan oleh Jayabaya sebagai gugusan kata yang bermakna Ho No Co Ro Ko No To No Go Ro Do To So Wo Lo Po Do Jo Yo No. Nah, kata Mbojo pun saya duga seperti itu, karena memang zaman dulu dalam sebuah huruf justru terkandung sebuah makna simbolik secara umum.

Sekarang coba perhatikan kata-kata dalam bahasa Bima berawalan MBO beserta terjemahan bebasnya yang saya urut berikut ini :

Pecahan Huruf
Mbojo
Indonesia
m Bo Cu
Mbocu
Kenyang
m Bo Lo
Mbolo
Bundar
m Bo Ko
Mboko
Cekung
m Bo To
Mboto
Banyak
m Bo Wo
Mbowo
Gonggong
m Bo Tu
Mbotu
Terbang
m Bo Ra
Mbora
Hilang
m Bo U
Mbou
Tersohor
m Bo Ho
Mboho
Tumpah
m Bo Le
Mbole
Benjol
Bo Nci
Mbonci
Tumbuh
m Bo Nga
Mbonga
Gila
m Bo Nggi
Mbonggi
Mandul
m Bo Nto
Mbonto
Cabut

Seandainya saya tambahkan di akhir deretan kata tadi seperti ini :

m Bo Jo     =     ?????

(Apa yang tergambar dalam pikiran anda sekarang)

Istilah Mbojo mempersatukan penduduk dataran ini dalam kesatuan teritorial (Dana Mbojo), komunitas (Dou Mbojo), bahasa tutur (Nggahi Mbojo), Karakter (Tabe’a Mbojo) dan pemerintahan (Sangaji Mbojo). Tetapi ada fakta unik yang kadang di luar dari kesadaran kita sehari-hari bahwa penyebutan kata Mbojo secara teritorial dalam tataran domestik kita sendiri cenderung menyempit dan terpusat. Coba simak dialog keseharian kita, bagi warga Raba yang berada sebelah timur gunung dua (tepatnya perbatasan jalan gatot subroto), jika hendak ke pasar Bima selalu mengatakan “Nee lao di Mbojo”, tapi warga yang berada di wilayah sebelah barat gunung dua, tidak akan menyebut demikian. Ini pun berlaku bagi masyarakat Bima Selatan (Dou Ta Dei), Bima Barat (Dou Ipa), Bima Tenggara (Ese Wera) dan Bima Timur (Dou Mai Ese Mai). Kalimat-kalimatnya akan seperti ini :

  • Nahu nee lao ari Mbojo (ini pengucapan masyarakat yang bermukim dari wilayah perbatasan Uma Mee/Bandara sampai ke Langgudu) 
  •  Nahu nee lao awa Mbojo (ini versi masyarakat Wawo, Wera dan Sape) 
  •  Nahu nee lao ipa Mbojo (ini versi masyarakat Bolo dan Donggo)
Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka kalimat-kalimat itu akan terdengar rancu, misalnya “Nahu nee lao ari Mbojo” akan berarti “Saya mau keluar ke Bima”.

Tanpa kita sadari ternyata pada ranah tempat secara sektoral, Mbojo yang kita maksud itu hanya berlaku bagi pada kawasan Pasar dan Pusat Pemerintahan kerajaan saja. Tetapi tatkala masyarakat Bima ini berada di luar wilayahnya sendiri, kata “Mbojo” dijadikan sebagai sebutan perekat secara integral sebagai sebuah komunitas, dan masyarakat Dompu pun kadang-kadang juga turut merasakan pengaruh kekuatan komunitas ini.

    Ada beberapa sebab yang menginspirasi saya berkesimpulan seperti ini : 
  1. Bahasa Bima termasuk bahasa tertua dalam rumpun bahasa-bahasa di Nusantara, meski penuturnya sedikit, akan tetapi bahasa ini ditunjang juga oleh keberadaan aksaranya, sehingga bisa dikatakan bahwa pada abad 13 M sebelum didaulati Majapahit, wilayah ini sudah memiliki peradaban sendiri yang sudah cukup diperhitungkan, karena sudah maju dalam hal baca-tulis. Mungkin saja, lembaran-lembaran kuno tentang negeri ini sudah punah atau dimusnahkan setelah Bima berubah bentuk menjadi Kesultanan pada tahun 1611 M. 
  2. Istilah Mbojo dalam pandangan saya adalah sebuah kata yang tersusun dari dua huruf seperti tadi, dia bermakna sama halnya dengan kata-kata berawalan Mbo lainnya, dan saya meyakini bahwa setiap kata dalam bahasa Bima yang berawalan Mbo tidak menunjukkan sifat atau bentuk suatu Tempat, tetapi cenderung bermakna akibat atau keterangan dari sebuah tindakan. 
  3. Saya menjumpai nama kampung atau tempat-tempat pemukiman tua di wilayah Bima justru berawalan NTO, sejauh ini yang tersisa secara administratif sebagai sebuah desa atau wilayah ada empat, yakni Nto ‘bo, Nto ke, Nto ri dan Nto nggu. Secara linguistik sepertinya sama dengan kata-kata berawalan MBO tadi. 
  4. Bagi masyarakat Bima, penamaan sebuah wilayah selalu disertai dengan bumbu-bumbu legenda yang menyertainya, dan itu berkembang secara verbal sebagai cerita rakyat. Dalam keseharian kita, asal-usul nama Mbojo justru tidak terdengar sebagai riwayat tuturan lisan dari generasi ke generasi. Buku BO’ sebagai salah satu referensi sejarah Bima, tidak menguraikan asal-usul penamaan ini. Karena BO’ yang sampai ke tangan kita hari ini hanyalah BO catatan silsilah, laporan perjalanan para Sultan (sebahagian berdasarkan catatan Belanda), Cerita Asal Usul Bangsa Jin dan Dewa-Dewa serta Syair Kerajaan Bima. Atau boleh jadi, dulunya terdapat BO’ yang menguraikan asal-usul tanah negeri ini bermula, yang kemudian hilang ataukah pula terbakar. 
  5. Mbojo adalah sebuah sebutan atau julukan yang sejak awal sudah disepakati oleh beberapa Pandita (kaum terpelajar) dan kelompok-kelompok penguasa lama, jauh sebelum Mbojo dikemas menjadi sebuah Kerajaan Hindu oleh Majapahit.

Catatan ini meski tidak berdiri dalam bangunan dan kerangka ilmiah namun setidaknya dapat dijadikan secuil acuan untuk kita berkhayal ke masa lalu. Semoga bermanfaat bagi para budayawan, sejarawan maupun para peneliti bahasa.


Kamis, 12 November 2015

Kebebasan Yang Tidak Membebaskan


Oleh:Bung Dayat Mbojo
Perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia dinegeri ini  adalah hal yang amat wajar, sebagai kewajiban kita semua selaku hamba tuhan yang punya rasa prikemanusiaan, disebabkan oleh sebuah tuntutan falsafah kenegaraan kita, pancasila. Semua sila yang ada menuntut kita untuk memperjuangkan segala bentuk dalil kebebasan umat manusia diantaranya hak-hak kemanusiaan. Terlebih khusus sila yang memuat pada kemanusiaan yang adil dan beradab. Memperjuangkan hak-hak asasi manusia dapat dipandang sebagai suatu yang logis, alami dan wajar kenapa saya pribadi memandang hal tersebut sebagi suatu tanggung jawab yang sifatnya suatu keharusan karna jangan adalagi pengisapan sesama manusia, karna kita hidup dibawah falsafah yang sama.
Melihat dari pada dinamika dan konstalasi politik, ekonomi, hukum, dan kebudayaan dinegeri ini menyisahkan drama yang misterius, ini semua terjadi karna ketidak seimbangannya antara nilai falsafah dan peraturan yang ditetapkan. Jika kita merefleksi kembali asal muasal negri ini adalah hasil kejaliman di orde baru yang merekomendasikan secara legalitas investor asing bebas menanamkan modalnya, dikarenakan bangsa kita peralihan dari orde lama ke orde baru secara ekonomi dan politik sangat kacau balau, sehingga ketidakstabilan antara pendukung dan pemegang kekuasaan hadir. Soeharto dalam memperbaiki keadaan indonesia dia menggunakan teori pembangunan dari W.W Rostow yang memiliki suatu kecocokan dalam sifat maupun keadaan di Indonesia dengan ini saya menguraikan hasil dari pada teori pembangunya:
1.  Masyarakat tradisional: pada masa itu memiliki identitas kelokalan yang sangat kental dalam kehidupanya, semisal dalam kegiatan ekonomi mereka masih menggunakan system barter (pertukaran barang dengan barang).
2.  Masyarakat pra industri: indonesia sangat terkenal dengan dua sektor produksinya yaitu maritim dan agraris. Ini adalah suatu kegiatan dalam sector ekonomi yang memberikan kegiatan yang menonjol pada masyarakat indonesia sehingga dalam sekto ini kita melimpah hasilnya.
3.  Lepas landas: Indonesia pada fase ini mengalami kegalauan yang sangat tinggi disebabkan karna sumber daya manusia (SDM) sangatlah kurang, sedangkan untuk mengelola sumber daya alam yang melimpah (SDA) diperlukan orang-orang yang ahli. Maka sinilah dimulainya era baru (kapitalisme) yang merong-rong pada bangsa kita.
4.  Masyarakat industri: masyarakat yang ada di indonesia dulu dalam wilayah industri berkembang dan menjamur seluruh perusaan asing masuk dengan direkomendasikan peraturan perundang-undangan PMA (penanaman modal asing) oleh pemerintah indonesia.
5.  Masyarakat konsumsi tingkat tinggi: dimana system ketergantungan pada produk-produk industry yang memiliki suatu yang bersifat instan dan mewah berkembang. Sehingga mereka lupa bahwa produk local lebih bagus dari pada produk industri.
Dalam teori pembangunan diatas sudah jelas, bahwa kenapa kita hari ini menjadi sebuah Negara yang lemah secara ekonomi, hukum, politik dan budaya, karna kita memang sengaja digiring pada menjadi masyarakat konsumtif. Sebelum kita mengenal orde baru kita pula mengenal orde lama dibawah kekuasaan Bung Karno, dia adalah sosok pendiri bangsa yang tegas dan otoriter pada Negara asing, terutama pada masa perang dunia ke dua (perang dingin) dia dalam orasinya menyatakan bahwa, indonesia berdaulat diatas tangan dan kakinya sendiri tampa ada intervensi dari blok barat dan blok timur dia membentuk Negara non blok tampa keberpihakan, dengan ketegasanya ini negara kita menjadi suatu Negara yang ditakuti oleh Negara asing karena kemandirian secara ekonomi dan politiknya.
Sudah waktunya para kader bangsa dan para calon pemimpin generasi penerus yang akan mengambil alih estafet kepemimpinan bangsa ini, untuk mengemukaan konsep maupun visi dan misi tetang perubahan bangsa yang lebih baik kedepanya. Untuk menghadapi iklim demokrasi yang semakin hari semakin hilang taringnya katanya demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, kini slogan itu hanyalah sebuah nyanyian suci yang dilantunkan oleh mereka yang memangku dan menjalankan kekuasaan, sebagai suatu tombak yang runcing untuk menusuk hati nurani rakyat yang suci. Maka dengan ini kita sama-sama menyatukan persepsi pandangan yang bersifat optimisme, bahwa indonesia tetap menjadi sebuah Negara yang berdaulat secara ekonomi, politik, maupun hukum tampa intervensi dari Negara lain, karna kita memiliki pandangan hidup bernegara yang jelas dengan konsep ideology yang bersifat mengikat.
Kita sadar bahwasanya dengan berbagai regulasi maupun kebijakan yang turun sebernanya banyak kejanggalan dan ketimpangan, okelah regulasi yang turun katanya sebagai suatu peraturan untuk menjaga kestabilan Negara dalam berdemokrasi, agar manusia-manusia yang hidup diIndonesia tidak liberal mengartikan bahwa kebebasan bebas dilakukan karna kita hidup sudah merdeka jadi hak bicara, berserikat, berkumpul dan menyeruakan pendapat di muka umum bebas sesui dengan amanat UU. Bila melihat dan mencerna kembali surat edaran Kapolri nomor 06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech). Surat ini dikeluarkan khusus untuk Internal Kapolri, agar para personil kepolisian mengingat kembali bahwa bentuk penanganan yang bersifat: penghinaan, pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenagkan, provokasi, penistaan dan penyebaran berita bohong. Ini semua adalah tindakan yang memiliki tujuan yang bisa berdampak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa atau konflik sosial yang nantinya bisa mengganggu kestabilan bangsa.
Hematku dalam surat edaran diatas memperlihatkan bahwa kebebasan pers meliput/menyebar luaskan informasi seakan-akan dikengkang dan dalam berdemonstrasi pula kebiasaan aktivis yang progresif menyampaikan orasi ilmiah seakan dibatasi. Tetapi mudah-mudahan para pemangku kebijakan bisa arif mengambil dan menentukan mana kesalahan yang bersifat yang diuraian diatas yang telah diatur dalam surat edaran internalnya agar disosialisasikan lebih intens kepada internal dan masyarakat secara luas agar mereka paham. Sehingga  nantinya kita tidak mendengar salah penangkapan dengan dalih yang tidak jelas. itulah harapan kami selaku anak-anak yang dilahirkan dalam bangsa yang mengedepankan nilai kebenaran.


Sabtu, 07 November 2015

Gadis Bugis


                                                      Oleh: Bung Dayat Mbojo
Lentikan sayu matamu menghantui diriku akan takut kehilanganmu gadis bugisku, Suara gelombang Pantai Losari berdesus keras mengisaratkan bahwa dirimu patut untuk ku perjuangkan, Semangat dan harapanku semoga hari esok kau hadir dihadapanku dengan senyum ramahmu dan memintaku untuk tetap setia meskipun kita dilahirkan ditanah dan tradisi budaya yang berbeda, ucapanmu semakin menyakinkanku bahwa kau tecipta bukan atas dasar kekagumanmu terhadap pribadi sederhanaku tetapi kau tercipta atas dasar cinta dan kepengertianmu, kau memintaku untuk mendaki gunung Bawakaraeng sampai kepuncaknya,  sebagai bentuk bahwa diriku benar-benar kau perjuangakan bukan hanya sebatas untaian kata yang tak bermakna, kujawab jangankan gunung bawakaraeng yang tak pernah mengeluarkan asap yang mempengaruhi iklim dunia selama 2 tahun berturut-turut sehingga tidak ada sebercak cahaya fajarpun menampakan kehangatanya, sehingga mengakibatkan penghabatan dalam segala aktifitas manusia, Gunung Tamborapun akan saya sebrangi sewalaupun diriku tersisih oleh belantara savanna yang tak berujung asalkan kau bersama dengan manisku.
Pagi indahpun datang dengan pancaran fajar menggugurkan embun-embun dibercak rerumputan hiaju tak bersuara, keindahan pagipun berlanjut dengan Kicauan indah sepasang burung merpati diatas dahang pohon jati berbagi suka dan tawa dalam menebarkan cinta kasih diantara mereka. Ini semua mengisaratkan bahwa cinta tidak harus memiliki kesamaan dalam semua dimensi latar belakang karna cinta hadir untuk menyatukan segala bentuk perbedaan, lihatlah gadis bugisku cerita indah telah kita lewati dan monerahkan decak kagum bagi mata manusia yang melihatnya karna kita mampu menghadirakan keharmonisan ditengah keberagaman.

Tidak terasa kita sudah sejauh ini melangkah tampa henti dengan pengharapan suatu saat kita akan disatukan dalam balutan tradisi keberagaman hasil dari pada kombinasi budaya tetuah kita, cerita manis kita akan menjadi sebuah kesaksian Alam Raya pada Tuhan bahwa anak cucu adam adalah mahluk yang meyakini kesamaan cinta ditengah segala perbedaan, kesaksian alam inilah sebagai bentuk penyantuan antara kau dan aku, keyakinan cinta kau dan aku mengalahkan keyakinan ku pada Tuhan penciptaku karna pancaran manifestasi penciptanya ada pada bola mata sayumu sehingga keraguanku akan zat-zat ketuhanya selama ini terjawab dalam satiap senyum lepasmu tampa ada kebohongan yang tersirat.
Tangan ku bergetar dikala jemari ku melukiskan kesetiaanmu dalam  bingkai kalimat yang mungkin terlalu sederhana ku gambarkan lewat kata-kata sederhana ku, pikiran ku pun menggebu jikalau bait ini tak ku goreskan, biarkanlah goresan sederhana ku ini menjadi cerita manis dikala dirimu lelah manghadapi ketidak dewasan ku terhadapmu, hembusan angin Pantai Bira pun akan cemburu melihat kau dan aku telah menjadi kita juga biarkan desiran air terjun Tangga Seribu memercikan hentakan air kecemburuan dikala kau dan aku menjadi satu dalam cerita manis kita.
Orang bugis terkenal dengan kesetiaan itulah sebabnya ku memilih kamu melewati hari-hariku ditanah rantauan ku, kuingin megukir cerita kita diatas ombak pantai tanjung bunga biarkanlah ombak dengan desiran gelombangnya membawa cerita indah ini sampai ke pantai lariti yang berpasir putih mengisaratkan seputih hati ikhlasku terhadapmu, dinginya suasana Malino dan Pegunungan Godo Bima tidaklah sedingin hati ini menghadapimu dikalah kau jenuh dengan ketidakpastian ku terhadapmu. Sungguh terlalu naïf diri ini jikalau dibenakmu masih ada mosi ketidak percayaan dan kesungguhanku terhadapmu kau terlalu baik untuk ku sia-siakan Gadis Bugisku yakinkan bahwa kau apantas untuk kuperjuangan dengan segala perbedaan yang ada.




Kamis, 05 November 2015

Kebudayaan tanah Bima ( Dana Manggini)


Oleh: Dayat Mbojo
Cerita indah ku ukir dibelantara pegunungan Doro Leme dengan keramahan suasana alam liarnnya, mengingatkan kita pada masa kecil bercanda riang dengan senyuman polos menikmati segala isi alamnya, biasanya dulu kita lewati masa kecil ini dengan mengambil kayu bakar makan loka, garoso, sambi dan loa sensasi alam inilah yang senangtiasa selalu menghantui diri ini untuk kembali menginjakkan kaki dibelantara gunung penuh pesona dengan segala kemisterianya, banyak para tetuah rasa (tetuah kampung) menganggap bahwasanya digunung doro leme disitulah kami dan orang-orang tua dulu bertahan hidup dari segala ancaman pihak penjajah Kolonialisme Belanda dan Para Nipong Jepang, cerita-cerita rakyat itu sering kami dengar dengan segala kesungguhan hati bahwa perjuangan mereka dalam bertahan hidup dan meraih kemerdekaan sangatlah pahit, decak kagum dan apresiasi yang sangat besar kami persembahkan untuk para tetuah dana mbojoku semoga cita-cita besar mu melihat anak keturunan mu menjadi generasi yang hidup diatas tanah kemerdekaanya sendiri tampa ada lagi eksploitasi kemanusiaan lagi.
Cerita ku pula berlanjut dihamparan so laloja,  so pamali, so laju dan so tolo bou, dalam bahasa Bima, so adalah suatu kawasan persawahan yang memiliki identitas yang berbeda di masing-masing perbatasannya, sehingga jika ada orang pendatang yang mencari perbatasan persawahan ini tidaklah susah sesusah mencari keadilan dinegri ini yang tak kunjung didapatkan oleh rakyat miskin, dihamparan persawahan inilah kami dan orang tua menghabiskan pancaran sinar fajar matahari dengan segala kelembutanya seakan-akan memberikan pengharapan besar bagi kami semoga dewi fortuna menyertai benih-benih ini untuk kelak dapat kami panen dengan kesyukuran diatas tanah manggini ini, pandangan indra ku pun melayang dari barat ketimur juga selatan keutara mengisaratkan bahwa keindahan dan kelimpahan hasil alam ini adalah manifestasi dari tuhanku ternyata kebesarannya dia tunjukan lewat penciptaanya.
Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat seperti putaran kincir angin diladang garam menyisahkan kenangan yang begitu indah sehingga diri ini tidak mampu move on dengan desiran angin pedesaanku, sering kuceritakan desaku pada kawan-kawan sebayaku dirantauan bahwa Tanah Bima (dana mbojo) masih kental dengan tradisi kebudayaan dalam kehidupannya sehari-harinya diantara: rimpu, lamba angi, bantu angi dan cua gahi kalembo ade, ini adalah sebagian dari sebuah tradisi yang masih dilakukan oleh warga Bima meskipun sekarang sudah banyak pula kaula muda yang malu bahkan sudah lupa dengan identitas tanah kelahiranyan, makanya dengan melalui tulisan ini pula aku mengajak kawan-kawan muda ( mone ma siwe na) agar senantiasa dimanapun kalian berada untuk tetap membiasakan diri dengan segala bentuk kebudayaan dana ra rasa ndaita menjadi suatu identitas diri kalian, juga mempublikasikan adat istiadat tanah Bima didaerah dimanapun kalian berada tunjukan pada mereka, bahwa tanah bima memiliki identitas budaya yang patut untuk disebar luaskan karna mengandung nilai Agamais dan Seni yang tidak bertentangan dengan asas Pancasila Negara kita.
Ingat kawan muda ( ma mone ra ma siwe na ) bahwa tanah bima adalah tanah para tetuah yang memiliki identitas kedaerahan yang sangat syarat akan nilai etika dan estetika maka hematku sebagai pemuda ( Sampela Dana Mbojo) agar tetap mengedepankan budaya yang kita percayai selama ini sebagai falsafah hidup dalam kehidupan kita sehari- hari, saya juga ingat apa yang dibahasakan oleh budayawan sujiwo tedjo: budaya adalah ciri kepribadian diri manusia yang harus terus dilestarikan walaupun jaman menuntut kita untuk mengikuti perkembangan yang sudah modern, karna nilai budaya merupakan suatu marwah dan esensi dasar kedirian manusia. Jadi tidaklah heran kenapa didaerah bagian jawa sana sampai sekarang dalam sector parawisata kebudayaanya sangat dilirik oleh wisatawan local maupun wisatawan asing meminatinya disebabkan penanaman nilai kebudayaan pada generasinya sangatlah urjensial, secara tidak langsung pula mereka memiliki potensi pertumbuhan nilai ekonomi yang bagus untuk kesejahteraan masyarakat sekitar juga tradisi mereka tidak akan lekang oleh waktu karna itu atadi penanamang meregenerasi.
Kupikir kita pun juga memiliki potensi yang sama seperti mereka dengan tetuah Tanah Mbojo : maja labo dahu, ngaha aina ngoho dan gahi rawi pahu. Ini pun tetuah yang saya pikir adalah sebuah spirit yang tidak akan pernah mati yang akan terus mendorong kita pada semangat untuk melestarikan segala bentuk maupun semua dimensi kebudayaan kita, dengan semangat inipula mulai sekarang pemerintah dan masyarakat tanah Bima harus memiliki tanggung jawab bersama untuk terus saling bahu membahu menebarkan benih-benih kebudayaan ini pada generasi muda, agar nantinya anak cucu kita dapat pula menikmati kebudayaan ini sehingga nilai kebudayaan leluhurnya mereka implentasikan dalam kehidupanya.
Tanah dan tetuah mbojo (Bima) adalah harga diri kita selaku anak yang dilahirkan ditanah yang penuh dengan falsafah hidup yang agamais yang syarat akan nilai etika dan estetika sehingga ini suatu keharusan yang menuntut kita para genersi muda ( Sampela Mbojo) untuk tetap menjujung tinggi tanah kelahiran kita dengan berbagai keragaman budaya yang terkandung didalamnya juga tanggung jawab kita kepada roh-roh tetuah kita yang mewariskan budaya ini dengan penuh harapan bahwa kita tetap satu dalam bingkai kebersamaan tampa adanya suatu perpecahan diantara kita yang memiliki darah dan tetuah  yang sama (ndai sasama mbojo ta).
Salam Hangat Mada Sampela Dana Mbojo:

Bung Dayat H.Ridwan Ompu Bojo

Selasa, 03 November 2015

Suara Penaku


                                                           Oleh: Bung Dayat Mbojo
Diawal cerita tetang kegalauan menorehakan keresahan bathin yang mengakibatkan jiwa ini pada titik penentuan keresahan yang mendalam, hati ini terus kupertanyakan sehingga melahirkan tanda Tanya mengapa dan ada apa inilah cikal bakal diriku mempresentasikan sebuah tinta hitam yang memiliki sebuah pemaknaan berdasarkan dari beberapa perenungan dalam kamar kosong yang dibatasi oleh tembok sehingga panca indrapun terbatasi dalam dimensi keterbatasanku, mungkin ini nantinya akan memiliki nilai positif bagi para pembacanya, sedikit prihatin pula mengenai pribadi yang diri ini pula tidak mampu kunilai baik buruknya biarlah tinta ini yang akan bersaksi pada semua orang mengenai siapakah pribadi ini apakah diriku pantas disebut khalifah dimuka bumi atau betul apakah yang dipertanyakan mahluk ciptaan tuhan yang lain yang melontarkan sebuah argumentasi diluar nalar manusia bahkan ilmuan saat ini tidak dapat memprediksi secara langsung dengan jangka waktu yang sangat lama yaitu mengenai manusia hanya hadir dibumi sebagai mahluk yang menyusahkan penciptaan yang lain dan sebagai mahluk pengrusak dimuka bumi inipula terjadi sekarang banyak manusia tidak mampu menenpatkan dirinyaa sebagai pemimpin bagi dirinya dan orang lain, pada proses pengakuan diri inilah mendorong ku pribadi sebagai langkah awal diri  ini sadar akan tanggung jawab besar yang telah diberikan tuhan sekaligus sebuah kehormatan dirii ini sebagai manusia yang paling istimewah dari penciptaanya yang lain.
Jika tintaku ku ini bisa berteriak dan membentuk barisan kalimat perlawan terhadap segala persoalan dan dinamika hidup yang ada mungkin goresan inilah yang setia dalam garis perjuangan, miris melihat kaum muda hari ini lebih banyak menghabiskan waktu dalam alam kesenagan mereka lupa bahwa semua itu adalah manifestasi proses pengbungkaman yang nantinya berakumulasi menjadi sebuah watak apatisme, hedonisme dan yang parahnya lagi berwatak aportunis jika ini sudah ada pada setiap jiwa kaum muda yakin mentari esok yang biasanya memancarkan sinar kedamaian dan kesejahteraan untuk mahluk yang ada nanti akan menjadi sinar kemunafikan dan kejalimann akibat reaksi dari manusia-manusia yang tidak atau diri pengibaratan inilah adalah sebuah desakan keras jangan sampai alampun menghukum kita dengan segala perbuatan dan kemunafikan yang kita tebarkan seperti kita ketahui bersama bahwasan semua mahluk penciptaan tidak mempunyai hak untuk saling menghukumi melain sang penciptalah yang menghukumi setiap penciptanya itulah sebuah kodrat kehidupan yang harus kita maknai.
Seiring berjalanya waktu tak terasa kita telah mencapai pada sebuah masa yang tampa kita sadari telah memberikan sebuah kemudahan dalam setiap kebutuhan yang kita butuhkan dilain sisi pula ternyata dalam keadaan yang hingar binar ini juga menawarkan konsekuen yang sangat besar pula karna setiap kemudahan yang ditawarkan menghilangkan juga nilai yang bersifat individualistic diri pada pengakuan diri tadi seperti yang dijabarkan diatas juga sifat sosialistik yang harus dikedepankan karna kita dealah mahluk sosial yang memiliki rantai ketergantungan hidup, apakah sifat yang saya jabarkan diatas masih tertaman ataukah hanya sebuah kata identitas diri mahluk yang namanya manusia, hematku semoga kita hidup diera ini ini bukan sebuah kebenaran argumentasi dari kausalitas pertentangan sebelum penciptaan manusia dulunya.
Tangan liarku terus melaju diatas kertas putih kulajukan terus goresan tintaku sehingga pada waktunya nanti dimana tangan ini tidak mampu lagi bergerak dalam hitamnya coretan, kesaksian tulisan inilah yang akan memberikan semangat hidup dikala diriku menua, cukuplah aku yang mensia-siakan masa mudaku dengan keresahan dan kebungkaman sehingga ketidak mampuanku melawan diri ku yang sedang berada dalam cengkramanku pada wilayah pembahasaan diri kok aku ndak seperti mereka yang memiliki banyak hal kemampuan diri dan kecukupan yang bersifat material padahal itu semua bukan menjadi tolak ukur dia mengabdikan diri pada umatnya sehingga harapanku pada kawan-kawan muda ini adalah masanya kita dimana perelesasian diri ditunjukan untuk berbuat sesuatu yang bernuansa perjuangan dalam memperjuangkan hak-hak petani, nelayan, buruh pabrik juga kaum miskin kota lainya sehingga nantinya sejarah akan mencatat bahwa pelopor muda dimasa ini akan menjadi instrument dikala kau muda mengalami kegalauan seperti yang kita rasakan dalam jaman yang lebih tidak mengenal diri dan kelompok yang hanya mengenal keuntungan diri maupun kelompok yang memainkan lakon-lakon nantinya.

Kerisauanku sedikit terobati dikala coretan hitam ku dibaca dan direalisasikan oleh diriku pribadi dan kawan-kawan muda yang membaca, tulisan ku pula bukanlah suatu goresan hasutan atau profokasi melainkan memberikan semangat perjuangan untuk umat dan bangsa, disamping itupula juga menjadi bagian terbesar dalam suatu bahan bacaan yang bersifat penimbangan terhadap regulasi dan dinamika hidup yang ada, kupikir kalian adalah suatu mahluk yang memiliki pemaknaan yang cukup dari apa yang saya goreskan makanya dengan hadirnya bait-bait ini awal dari penyadaran diri sehingga nantinya tau diri kemudian bisa kita menempatkan diri agar kita punya nilai diri.

Senin, 02 November 2015

PUISI: SARJANA BUKAN BURUH


OLEH: RAHMAT HIDAYAT
Wahai kaum sarjana pegang teguhlah tri darma perguruan tinggimu .
junjung tinggilah daya intelektualmu sebagai cara pengubah paradikma didikanmu.
kau dihasilkan bukan untuk menjadi sampah dalam kehidupan sosialmu.
tunjukanlah dayamu sebagai pelopor pendobrak setiap segala bentuk kebohongan yang ada.
sumpah mu dulu sebagai agent of change yang sering kaum ikrarkan jangan kau lepas
seperti almamatermu.
            Idealisme mu jangan kau gadaikan dengan jabatan yang kau terima pada kaum
borjuis yang menggiringmu pada budaya aportunis sehingga kau lupa tujuanmu untuk
mencerahkan umat,terlalu cepat engkau menggugurkan identitas dirimu dengan kemewahan
material yang sifatnya hanya sementara.
Kau bukanlah buruh kasar yang digiring untuk mengikuti hasrat dan kemauan elit anjing yang sewaktu-waktu mencabik dan menggogongmu jika sudah masuk perangkapnya,tak usahlah  dirimu diperalat masih banyank diluar sana rakyat yang meminta bantuan untuk  membebaskan mereka dalam lingkaran kemiskinan dan kebobrokan sosial lainya, hak-hak mereka diambil bahkan hasil dari keringat mereka diperas sampai tulang dan darahnya tercabik.

Kau sarjana bukan buruh kasar, jangan kau bungkam suaramu panggilah kawanmu bangunlah basis perjuanganmu sebagai alat untu menumbangkan para kaum penindas yang berlihai diatas keringat rakyatmu, yakin kan pada mereka bahwa kita memiliki kadar kemerdekaan yang sama dengan mereka jika dosis kemerdekan kita di takar beerbeda dengan mereka ,maka revolusi dalam tingkatan sosial akan tercipta itulah janji sebuah perlawanan

DESAS DESUS BIMA TIMUR

                                                                      OLEH: BUNG DAYAT MBOJO
Fenomena yang tak biasa terjadi ditingkatan daerah para pejuang muda dan tua beramai-ramai bergabung dalam komite persiapan daerah baru yang ingin memekarkan suatu wilayah menjadi DOB, Bahkan wacana pembentukan kabupaten Bima timur sebagai pemekaran daerah baru masuk dalam daftar persiapan. Tulisan ini bermaksud mengkaji berbagai aspek wacana pemekaran wilayah menjadi suatu problem yang pro dan kontra ditingkatan masyarakat, penguasa dan dikalangan  mahasiswa.
 Menjadi perdebatan luas soal alasan mengapa daerah-daerah berkeinginan melakukan pemekaran wilayah. Berbagai dugaan dan kajian dilakukan mencoba menjawab apa yang melatar belakangi fenomena ini. Memang argumentasi yang paling sering dimunculkan bahwa pemekaran wilayah itu bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu juga bertujuan mempermudah masyarakat berurusan dikarenakan jarak mereka menjadi lebih dekat dengan pusat pemerintahan.
Benarkah perluasan daerah semata-mata bertujuan agar ada peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta untuk memperpendek jarak jangkau masyarakat terhadap administrasi pemerintahan? Ataukah ada motif lain. Misalnya agar tercipta lebih banyak jabatan-jabatan lowong baik di lembaga legislatif maupun di lembaga eksekutif. Saya berkeinginan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu mungkin jawaban saya nantinya hanya bersifat subjektifitas pribadi atau memang jawaban saya yang bersifat objektif dengan berpandangan langsung pada dinamika yang ada.
Agar tulisan ini tidak bersifat spekulatif yang tidak jelas saya berusaha membatasi pokok bahasan menyangkut tiga hal saja. Pertama, secara hukum apa syarat-syarat pemekaran suatu wilayah. Kedua, apa kemungkinan yang melatar belakangi upaya pemekaran wilayah. Ketiga, sikap apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah daerah apabila muncul hasrat warganya untuk memekarkan wilayah.
Secara hukum syarat-syarat pemekaran suatu wilayah untuk menjadi kabupaten/kota atau provinsi tidak terlalu sulit. Di era otonomi daerah hukum cukup memberikan kelonggaran kepada daerah untuk melakukan pemekaran. Ini pula yang menjadi sebab mengapa sekarang kita melihat banyak daerah yang “bernafsu” melakukan pemekaran mulai dari tingkat kabupaten sampai ketingkat provinsi. Di Nusa Tenggara Barat sendiri sekarang muncul wacana pembentukan Provinsi pulau sumbawa sebagaimana juga kehendak membentuk Kabupaten Bima Timur. Pertama ingin dijawab, secara hukum apa syarat-syarat pemekaran suatu wilayah? Pemekaran wilayah diatur dalam UU No 32 tahun 2004. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang ini adalah: Pasal 4 (3) “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.”
Pemekaran wilayah harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan (Pasal 5(1)). Syarat administratif untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat administratif untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Sedangkan syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Syarat fisik meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Namun bukan berarti apabila suatu daerah telah memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan fisik kewilayahan maka dengan sendirinya pemekaran wilayah dapat dilakukan. Hal ini disebabkan oleh adanya persyaratan jangka waktu jalannya pemerintahan induk. Ada batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan untuk dapat melakukan pemekaran wilayah. Untuk pembentukan Provinsi disyaratkan sepuluh tahun, Kabupaten/Kota disyaratkan tujuh tahun, dan untuk Kecamatan batas minimal penyelenggaraan pemerintahan adalah lima tahun.
Pokok bahasan kedua adalah apa kemungkinan yang melatar belakangi upaya pemekaran wilayah? Secara teori, tujuan pemekaran wilayah antara lain adalah: untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat, peningkatan keamanan dan ketertiban, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pengelolaan potensi daerah, dan agar terjadinya percepatan pembangunan ekonomi daerah. Sulit bagi kita tidak sepakat dengan alasan ideal ini. Kalau saja pemekaran wilayah semata-mata dengan alasan-alasan tersebut, bukan main kemungkinan hasil positif yang dapat dicapai bagi kepentingan masyarakat.
Dalam praktek, muncul dugaan adanya alasan-alasan lain mengapa “kencangnya” hasrat untuk memekarkan wilayah dibanyak daerah, bukan dikarenakan alasan ideal tadi. Bahkan dibeberapa tempat terjadi disharmonisasi antar berbagai komponen masyarakat akibat silang pendapat soal pemekaran wilayah. Ada kelompok yang sangat ingin terjadinya pemekaran wilayah. Namun disisi lain ada pihak yang dianggap mempersulit rencana itu. Dalam praktek, ada beberapa alasan yang mungkin menjadi latar belakang pemekaran wilayah. Boleh jadi ada alasan ideal sebagaimana dikemukakan pada aspek teori soal pemekaran wilayah tadi. Namun juga berkembang kemungkinan alasan lain tentang mengapa ada pihak yang kebelet mau memekarkan suatu wilayah. Dua kemungkinan alasan lain itu adalah: sebagai gerakan politik pihak yang kalah dalam PILEG/PILKADA dan agar tercipta jabatan-jabatan baru di wilayah pemekaran.
PILEG/PILKADA selalu saja menyisakan pihak yang kalah. Dalam PILEG/PILKADA dibanyak daerah, jumlah calon yang biasanya sekitar empat pasang atau lebih. Itu berarti yang menang hanya satu orang/1 pasang kemudian calon yang lain kalah. Memang semua kandidat akan berbicara soal sportivitas, soal janji akan menerima segala hasil pemilihan. Namun dibeberapa tempat pihak yang kalah melakukan perlawanan baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan. Secara terang-terangan dimulai dari penggunaan kekerasan hingga kepada mempersoalkan perhitungan suara. Boleh jadi memang ada soal dengan perhitungan suaranya, namun biasanya publik menafsirkannya sebagai indikasi tidak siap menerima kekalahan.
Sebagai pihak yang kalah, cara paling aman adalah melakukan gerakan-gerakan politik yang sah secara hukum. Diantara gerakan politik yang dianggap sah secara hukum itu adalah melalaui prakarsa pemekaran wilayah. Pemekaran wilayah berarti ada kesempatan untuk menjadi kepala daerah. Selain itu, bukan mustahil sebagai upaya “menggembosi” kekuasaan kepala daerah yang sedang berkuasa. Bukankah pada pileg/Pilkada lalu ia adalah lawan politik? Gerakan-gerakan dalam upaya pemekaran akan menjadi gesekan berarti atau malah cukup memusingkan kepala daerah tersebut.
Hampir setiap manusia normal menginginkan jabatan. Alurnya begini. Seseorang yang belum memiliki kekuasaan akan berusaha untuk mendapatkan kekuasaan. Siapa yang berkuasa akan berjuang mempertahankan kekuasaan itu. Jika telah berkuasa akan berusaha meraih jenjang kekuasaan yang lebih tinggi lagi. Pemekaran wilayah sebagai salah satu upaya untuk mendapatkan kekuasaan.
Katakanlah terjadi pemekaran wilayah yang menghasilkan kabupaten baru, bakal terbuka lebih banyak lowongan jabatan yang tersedia. Mulai dari jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, para asisten, Sekda, para KABAG, para kepala dinas. Ini jabatan yang utama saja. Begitu juga di legislatif, tersedia lowongan puluhan anggota Dewan, Unsur pimpinan, Ketua Komisi, Sekretaris Dewan, para kepala bagian. Bagi banyak orang pastilah lowongan-lowongan ini sangat menggiurkan.
Inilah berbagai dinamika dalam pembentukan Bima Timur yang sedang berlangsung, harapan saya  semoga orang – orang yang yang tergabung dalam komite merupakan presentatif dari masyarakat yang memperjuangkan kemaslahatan dan kesejahteraan bukan orang-orang yang senantiasa menjadikan rakyat hanya alat pemainan dengan wadah bima timur ini, kita selaku generasi muda tidak ingin melihat rakyat sengsara maka dengan ini saya mengajak kawan-kawan muda untuk terus mengawal mereka dan memberikan pemahan terhadap mereka mengenai pembentukan daerah baru apakah mereka siap ataukah sebaliknyan mereka belum siap ini adalah tanggung jawab kita terkhusus mahasiswa yang katanya sebagai masyarakat middle class menjadi titik penyeimbang antara high class dan low class
Saya memposisikan diri bukan sebagai pendukung bukan pula sebagai penghabat pemekaran BIMA TIMUR tetapi saya memberikan pemahaman sederhana dengan berbagai literature yang pernah dibaca kemudian dibenturkan dengan berbagaai dinamika yang ada ditingkatan bima hari ini’ ingat bima adalah tanah para tetuah yang keramat jika ada suatu kaum maupun kelompok yang mencoba berbuat kemunafikan diatas darah dan keringat rakyat maka alam rayalah yang akan menghukum mu;.

SALAM HANGAT DARI BUNG DAYAT