Dari beberapa referensi
sejarah yang saya baca tentang asal-usul nama Mbojo, hampir semuanya
sepakat menyebut bahwa kata Mbojo berasal dari istilah Buju, atau
Kabuju, yang kemudian menjadi kata sifat Ma Mbuju. Kata Buju
sendiri dalam bahasa Bima berarti “Gundukan Tanah”, para sejarawan menyimpulkan
bahwa Mbojo adalah penegasan terhadap bentuk geografis Bima yang
berbukit-bukit. Pendapat lainnya yang tidak kalah populer ialah, istilah Mbojo
berasal dari bahasa bahasa Jawa, “Bojo”. Bojo artinya kekasih,suami atau
istri. Kesimpulan ini memiliki dasar ilmiah yang cukup kuat, karena berdasarkan
sejarahnya, Raja Sang Bima dahulu mempersunting istri dari kawasan ini, saat
dia kembali ke Jawa, dia menyebut wilayah ini sebagai negeri mBojoku
(tempat asal isteri saya). Kemudian dia memanggil istrinya dengan sebutan mBojo,
yang terdengar ke telinga rakyatnya lalu disebutlah wilayah ini dengan sebutan
raja mereka.
Kalau saya punya versi
lain. Saya menduga, istilah Mbojo itu sudah ada sejak zaman baheula,
nama ini muncul seiring dengan kelahiran bahasanya. Dan saya meyakini istilah Mbojo
memiliki arti tersendiri yang tidak terkait dengan bentuk geografis maupun
legenda-legenda sejarah. Kata Mbojo berasal dari dua huruf, yakni huruf MBO
dan huruf JO. Aksara Bima tentu saja berbeda dengan aksara latin yang
ada, sepintas kita melihat kata Mbojo adalah lima huruf, padahal boleh
jadi dalam tata bahasa Bima kuno, itu hanyalah dua huruf. Ambillah contoh
aksara Jawa kuno (kawi) yang dipopulerkan oleh Jayabaya sebagai gugusan kata
yang bermakna Ho No Co Ro Ko No To No Go Ro Do To So Wo Lo Po Do Jo Yo No.
Nah, kata Mbojo pun saya duga seperti itu, karena memang zaman dulu
dalam sebuah huruf justru terkandung sebuah makna simbolik secara umum.
Sekarang coba perhatikan
kata-kata dalam bahasa Bima berawalan MBO beserta terjemahan bebasnya
yang saya urut berikut ini :
Pecahan Huruf
|
Mbojo
|
Indonesia
|
m Bo Cu
|
Mbocu
|
Kenyang
|
m Bo Lo
|
Mbolo
|
Bundar
|
m Bo Ko
|
Mboko
|
Cekung
|
m Bo To
|
Mboto
|
Banyak
|
m Bo Wo
|
Mbowo
|
Gonggong
|
m Bo Tu
|
Mbotu
|
Terbang
|
m Bo Ra
|
Mbora
|
Hilang
|
m Bo U
|
Mbou
|
Tersohor
|
m Bo Ho
|
Mboho
|
Tumpah
|
m Bo Le
|
Mbole
|
Benjol
|
Bo Nci
|
Mbonci
|
Tumbuh
|
m Bo Nga
|
Mbonga
|
Gila
|
m Bo Nggi
|
Mbonggi
|
Mandul
|
m Bo Nto
|
Mbonto
|
Cabut
|
Seandainya
saya tambahkan di akhir deretan kata tadi seperti ini :
m
Bo Jo = ?????
(Apa
yang tergambar dalam pikiran anda sekarang)
Istilah Mbojo
mempersatukan penduduk dataran ini dalam kesatuan teritorial (Dana Mbojo),
komunitas (Dou Mbojo), bahasa tutur (Nggahi Mbojo), Karakter (Tabe’a
Mbojo) dan pemerintahan (Sangaji Mbojo). Tetapi ada fakta unik yang
kadang di luar dari kesadaran kita sehari-hari bahwa penyebutan kata Mbojo
secara teritorial dalam tataran domestik kita sendiri cenderung menyempit dan
terpusat. Coba simak dialog keseharian kita, bagi warga Raba yang berada
sebelah timur gunung dua (tepatnya perbatasan jalan gatot subroto), jika hendak
ke pasar Bima selalu mengatakan “Nee lao di Mbojo”, tapi warga yang
berada di wilayah sebelah barat gunung dua, tidak akan menyebut demikian. Ini
pun berlaku bagi masyarakat Bima Selatan (Dou Ta Dei), Bima Barat (Dou
Ipa), Bima Tenggara (Ese Wera) dan Bima Timur (Dou Mai Ese Mai).
Kalimat-kalimatnya akan seperti ini :
- Nahu nee lao ari Mbojo (ini pengucapan masyarakat yang bermukim dari wilayah perbatasan Uma
Mee/Bandara sampai ke Langgudu)
- Nahu nee lao awa Mbojo
(ini versi masyarakat Wawo, Wera dan Sape)
- Nahu nee lao ipa Mbojo
(ini versi masyarakat Bolo dan Donggo)
Jika diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia, maka kalimat-kalimat itu akan terdengar rancu, misalnya
“Nahu nee lao ari Mbojo” akan berarti “Saya mau keluar ke Bima”.
Tanpa kita sadari
ternyata pada ranah tempat secara sektoral, Mbojo yang kita maksud itu
hanya berlaku bagi pada kawasan Pasar dan Pusat Pemerintahan kerajaan saja.
Tetapi tatkala masyarakat Bima ini berada di luar wilayahnya sendiri, kata
“Mbojo” dijadikan sebagai sebutan perekat secara integral sebagai sebuah
komunitas, dan masyarakat Dompu pun kadang-kadang juga turut merasakan pengaruh
kekuatan komunitas ini.
Ada beberapa sebab yang menginspirasi saya
berkesimpulan seperti ini :
- Bahasa Bima termasuk bahasa
tertua dalam rumpun bahasa-bahasa di Nusantara, meski penuturnya sedikit,
akan tetapi bahasa ini ditunjang juga oleh keberadaan aksaranya, sehingga
bisa dikatakan bahwa pada abad 13 M sebelum didaulati Majapahit, wilayah
ini sudah memiliki peradaban sendiri yang sudah cukup diperhitungkan,
karena sudah maju dalam hal baca-tulis. Mungkin saja, lembaran-lembaran
kuno tentang negeri ini sudah punah atau dimusnahkan setelah Bima berubah
bentuk menjadi Kesultanan pada tahun 1611 M.
- Istilah Mbojo dalam
pandangan saya adalah sebuah kata yang tersusun dari dua huruf seperti
tadi, dia bermakna sama halnya dengan kata-kata berawalan Mbo
lainnya, dan saya meyakini bahwa setiap kata dalam bahasa Bima yang
berawalan Mbo tidak menunjukkan sifat atau bentuk suatu Tempat,
tetapi cenderung bermakna akibat atau keterangan dari sebuah
tindakan.
- Saya menjumpai nama kampung atau
tempat-tempat pemukiman tua di wilayah Bima justru berawalan NTO,
sejauh ini yang tersisa secara administratif sebagai sebuah desa atau
wilayah ada empat, yakni Nto ‘bo, Nto ke, Nto ri dan Nto nggu.
Secara linguistik sepertinya sama dengan kata-kata berawalan MBO
tadi.
- Bagi masyarakat Bima, penamaan
sebuah wilayah selalu disertai dengan bumbu-bumbu legenda yang
menyertainya, dan itu berkembang secara verbal sebagai cerita rakyat.
Dalam keseharian kita, asal-usul nama Mbojo justru tidak terdengar
sebagai riwayat tuturan lisan dari generasi ke generasi. Buku BO’ sebagai
salah satu referensi sejarah Bima, tidak menguraikan asal-usul penamaan
ini. Karena BO’ yang sampai ke tangan kita hari ini hanyalah BO catatan
silsilah, laporan perjalanan para Sultan (sebahagian berdasarkan catatan
Belanda), Cerita Asal Usul Bangsa Jin dan Dewa-Dewa serta Syair Kerajaan
Bima. Atau boleh jadi, dulunya terdapat BO’ yang menguraikan asal-usul
tanah negeri ini bermula, yang kemudian hilang ataukah pula
terbakar.
- Mbojo adalah sebuah sebutan atau julukan yang sejak awal sudah disepakati
oleh beberapa Pandita (kaum terpelajar) dan kelompok-kelompok penguasa
lama, jauh sebelum Mbojo dikemas menjadi sebuah Kerajaan Hindu oleh
Majapahit.
Catatan ini meski tidak
berdiri dalam bangunan dan kerangka ilmiah namun setidaknya dapat dijadikan
secuil acuan untuk kita berkhayal ke masa lalu. Semoga bermanfaat bagi para
budayawan, sejarawan maupun para peneliti bahasa.